Makna Simbolis Dalam Ritual Ibadah Haji
Pada hari ini, sebagian besar duyufurrahman jemaah haji asal Indonesia kini mulai berangsur-angsur telah tiba di tanah air secara bergiliran sesuai urutan kloternya. Mereka berhaji meninggalkan tanah air, keluarga, dan harta benda dengan penuh kebahagiaan demi menunaikan ibadah yang sangat mulia ini. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah, apa sebenarnya makna terdalam dari ibadah haji, sehingga jutaan orang rela berkorban begitu besar untuk melaksanakannya?
Secara bahasa kata “haji” berasal dari
“hajjun”, yang berarti mengunjungi atau menuju suatu tempat. Dalam konteks
istilah syariat, haji adalah menjalankan ibadah dengan mengunjungi Baitullah di
Mekah pada waktu-waktu tertentu dengan tata cara yang telah ditentukan oleh
syari’at. Perintah untuk melaksanakan haji tercantum jelas dalam al-Qur’an,
salah satunya dalam surah Ali Imran ayat 97 yang menegaskan bahwa, kewajiban
haji bagi yang mampu secara fisik dan materi.
“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, di antaranya Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya Baitullah, maka amanlah dia. Di antara kewajiban manusia terhadap Allah Swt adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Swt maha kaya tidak memerlukan sesuatu apapun dari seluruh alam”. (Q.S. Ali Imran: 97).
Para ulama ketika memaknai kata “mampu” (istitha’ah) dalam ayat tersebut tidak hanya dalam hal ekonomi dan kekuatan fisik semata, tetapi juga mencakup pemahaman yang memadai tentang tata cara haji secara komprehensif. Karena ibadah haji sesungguhnya adalah ibadah yang menggabungkan antara fisik dan spiritual yang berlangsung dalam waktu lama ketimbang ibadah lainnya.
Secara historis, ibadah haji erat kaitannya dengan kisah Nabi Ibrahim As, Siti Hajar As, dan Nabi Ismail As. Mereka adalah sosok teladan sekaligus panutan umat yang mencerminkan ketaatan, pengorbanan, dan kecintaannya kepada Allah Swt. Nabi Ibrahim As, sebagai ayah menunjukkan sikap dialogis dan humanis ketika menyampaikan perintah Allah Swt kepada putranya, Ismail As.
Sebagaimana dialognya, “Hai anakku,
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu?”. Di sinilah adanya bentuk wujud dialog yang sangat humanis
antara bapak dan anaknya. Kemudian Ismail As sebagai anak yang berbakti baik
kepada orangtua sekaligus kepada Allah Swt, ia menunjukkan kebaktian dan
ketulusannya yang luar biasa dengan menerima perintah tersebut dengan penuh
ridha dan tulus. Tidak sedikitpun memberontak perintah dari bapaknya yang
hakikatnya adalah perintah langsung dari Allah Swt. Kisah ini terekam indah
dalam al-Qur’an pada surat Al-Shaffat ayat 102:
Ketika anak itu sampai pada umur ia sanggup bekerja bersamanya, ia Ibrahim As berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?”. Dia Ismail As menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan Allah Swt kepadamu. Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar”. (Q.S. Al-Shaffat: 102).
Selanjutnya, hakikat dari ibadah haji sesungguhnya adalah proses transformasi diri. Sepulang dari haji idealnya seseorang menjadi pribadi yang meneladani ketulusan dan kesalehan keluarga dari Nabi Ibrahim As, baik sebagai ayah, ibu, maupun anak. Ibadah haji juga seharusnya memperkuat kesalehan individu serta mendorong lahirnya kesalehan sosial. Jemaah haji diharapkan kembali di tengah masyarakat dengan semangat membela kaum lemah (mustadh’afin), membantu yang miskin, dan peduli terhadap mereka yang tengah ditimpa musibah. Perilaku sadar ketuhanan terhadap kondisi sosial masyarakat yang sedang menjadi ancaman yang serius ini seharusnya tertanam sejak dalam berlangsungnya ibadah haji.
Menurut Quraish Shihab, ia menyebutkan bahwa keteladanan yang harus diwujudkan, seperti praktik ritualnya dalam haji sesungguhnya merupakan pelajaran spiritual yang berkaitan dengan peristiwa Nabi Ibrahim As dan keluarganya yang meneguhkan tiga prinsip dasar dalam beragama. Pertama, mengesakan Allah Swt dan menolak segala bentuk kemusyrikan, hingga sesuatu selain Allah Swt. Kedua, meyakini adanya keadilan Tuhan yang puncaknya akan dibuktikan di hari akhir. Ketiga, memiliki keyakinan nilai kemanusiaan yang bersifat universal, tanpa membedakan suku, ras, atau status sosial di tengah masyarakat yang majemuk ini.
Sementara itu, menurut Azyumardi Azra, ibadah haji menuntut kesiapan yang menyeluruh atau komprehensif, baik secara lahiriah maupun batiniah. Bekal utama seorang calon haji adalah ketulusan hati hanya kepada Allah Swt, sikap tawakal pasrah atas segala keputusan-Nya. Meneladani akhlak Rasulullah Saw. Selain itu, diperlukan kemampuan untuk meninggalkan hawa nafsu, menghindari segala sesuatu yang dilarang dalam kehidupan duniawi, dan membersihkan diri dari berbagai keburukan dengan mengakui kesalahan yang dilakukannya.
Kemudian bagi jemaah haji dianjurkan membiasakan diri untuk berdoa dan munajat yang dipanjatkan dari hati yang bersih, disertai permohonan agar dijauhkan dari kerakusan dan keserakahan. Proses ini adalah bagian penting sejak dini dari pembentukan kepribadian yang utuh, agar setiap hari menciptakan suasana diri selalu bersama-Nya dan dalam perlindungan serta pengawasan-Nya. Kemudian agar tidak hanya taat secara ritual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Ibadah haji bukan sekedar menjalankan simbol-simbol serangkaian ritual belaka, seperti berihram, thawaf, sa’i, wukuf, atau melempar jumrah. Tetapi lebih dari itu, ibadah haji adalah perjalanan penyucian diri. Sehingga semua itu diperlukan persiapan lahir dan batin yang matang, karena ibadah haji adalah ujian kesabaran, kekuatan fisik, kecermatan dalam beribadah, sekaligus latihan spiritual yang sangat mendalam.
Haji selama ini dianggap sebagai salah satu puncak ber-Islam umat muslim. Pasalnya, perjalanan haji tidak hanya memakan biaya besar, kendati perjalanan haji yang berlangsung juga memerlukan stamina maupun tekad yang kuat. Bahkan lebih dari itu ibadah haji sebenarnya merupakan evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Singkat kata, evolusi eksistensial menuju manusia yang hakiki alias Insan Kamil (Manusia Paripurna).
Menurut Ali Syari’ati, seorang intelektual Islam terkemuka dari Iran, dalam buku khususnya yang berjudul “Haji” mengatakan bahwa Ka’bah yang dikelilingi oleh jutaan lautan manusia adalah bagaikan matahari sebagai pusat tata surya, sementara manusia yang mengelilinginya laksana bintang-bintang yang beredar dalam orbitnya. Ka’bah sendiri melambangkan ketetapan dan keabadian Allah Swt. Sedangkan manusia sendiri yang berbondong-bondong bergerak mengitarinya melambangkan aktivitas dan transisi yang terjadi secara terus menerus tanpa ada putusnya menuju kehadratillah Alla Swt.
Bagi Syari’ati, inilah contoh dari sebuah sistem yang berdasarkan monoteisme (tauhid) dan mencakup orientasi sebuah partikel bernama manusia. Allah Swt menjadi pusat eksistensi dan transenden, fokus dari dunia yang fana. Kemudian, manusia dalam gerakan bersama-sama mengelilingi Ka’bah menjadi lebur membaur tanpa adanya sekat pemisah antara satu dengan lainnya. Ini merupakan transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia di mana semua “aku” bersatu menjadi “kita” yang merupakan hamba-Nya dengan tujuan menghadap (sowan) menuju Allah Swt.
Tidak hanya itu, Syari’ati sangat terkesan dan takjub sekali terhadap aktivitas ibadah haji yang melukiskan keterpanaannya melihat betapa tertibnya orang berhaji di mana jutaan orang datang ke Mekah dari berbagai penjuru dunia, tetapi mengelilingi Ka’bah dalam satu pusaran yang sama, menghadap ke satu titik yang sama, dan berdoa dengan bahasa yang sama kepada Allah Swt.
Pemandangan haji yang menggetarkan sebagaimana yang dirasakan oleh Syari’ati boleh jadi datang dari perasaan menyatu yang menyentuh rasa ketauhidan (sense of faith in one God). Apalagi menurut Syari’ati secara filosofis menganalisis aktivitas tawaf dengan mengatakan bahwa tawaf memberikan hikmah bahwa Allah Swt tidak mesti dicari di langit atau dalam metafisika saja, melainkan bisa ditemukan juga di atas bumi. Singkat kata, Allah Swt terlihat di dalam setiap sesuatu. Alhasil, haji merupakan menjadi semacam awal migrasi terkait empat hal: dari pemujaan manusia terhadap dirinya sendiri ke pergerakan menuju pencarian keridhaan ilahi, dari ketidakberdayaan menuju ketakwaan, dari ambivalensi (bertentangan) menuju ketetapan hati, dan dari multiteisme menuju monoteisme (tauhid).
Tauhid berhaji juga nampak secara real dalam aktivitas sa’i. Secara etimologi, “sa’i” berarti usaha pencarian. Gerakan sa’i dilambangkan dengan berlari-lari (sebagai teladan historis dari Siti Hajar As, budak wanita yang kelak menjadi istri Nabi Ibrahim As, yang mondar-mandir berlarian mencari air untuk anaknya Ismail As di lembah yang kering rontang dan tandus. Dalam figur Siti Hajar As, muatan tauhid menjadi sangat kental. Pertama-tama, dalam melakukan sa’i, segala bentuk perbedaan diluluhkan. Apapun status dan jabatan kita, di dalam sa’i kita berperan sebagai Siti Hajar As, sang budak yang patuh atas perintah majikannya.
Selanjutnya, Siti Hajar As merupakan lambang kepasrahan, kepatuhan, dan keimanan yang teguh. Meskipun ditinggalkan di padang tandus sendirian bersama sang anak, Siti Hajar As tetap yakin bahwa “kami tidak akan diabaikan oleh-Nya.” Siti Hajar As meyakini bahwa Allah Swt akan menjamin seluruh kehidupan dan keselamatannya beserta sang anak. Artinya, Siti Hajar As adalah sosok figur yang kokoh memegang tauhid.
Selanjutnya, Syari’ati menjelaskan jika tawaf menggambarkan larut dan meleburnya ego manusia ke dalam hadirat ilahi, sa’i lebih menggambarkan usaha manusia mencari penghidupan (ma’isyah). Karena kehidupan dunia dan akhirat merupakan satu kesatuan dan keterpaduan yang tidak bisa dilepaskan dari keduanya. Dengan kata lain, bahwa manusia yang sejati (hakiki) adalah manusia yang mampu memadukan iman dan dunia di dalam jiwa dan dirinya.
Alhasil, perpaduan antara aktivitas tawaf dan sa’i dalam ibadah haji secara simbolis mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang sering membingungkan umat sepanjang zaman, yaitu antara materialisme dan idealisme, rasionalisme atau petunjuk ilahi (wahyu), dunia atau akhirat. Ibadah haji ini seakan ingin menjawab, ambilah keduanya.
Kemudian yang didapatkan makna simbolik ketika aktivitas wukuf di Arafah seperti hamba Allah Swt yang sedang melakukan shalat, yaitu berhenti dari segala aktivitas duniawi untuk kembali mengetahui dan meyakini bahwa Allah Swt adalah Dzat yang maha agung lagi maha sempurna, serta menemukan ma’rifah tentang pengetahuan jati dirinya, akhir perjalanan kehidupannya, dosa-dosanya, dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali.
Selanjutnya, mabit memiliki arti bermalam. Yang mana, dalam pelaksanaan ibadah haji membutuhkan stamina yang kuat. Maka dari itu, para jemaah haji dianjurkan untuk memulihkan fisik dan mental dengan beristirahat. Adapun pelaksanaan mabit dilakukan di dua tempat yaitu di Muzdalifah dan di Mina. Mabit di Muzdalifah dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah selepas wukuf di Arafah sedangkan mabit di Mina dilaksanakan pada hari-hari tasyrik ( 11, 12, 13 Dzulhijjah). Dimana pada tanggal tersebut, dianjurkan untuk menyembelih kurban.
Mabit di Mina bukan sekadar bermalam, tetapi merupakan bentuk kepatuhan dan keteladanan dalam mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. Di tempat ini, jemaah juga melaksanakan lempar jumrah, yaitu melempar batu kecil ke tiga tempat (Jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah) sebagai simbol penolakan terhadap godaan setan dan hawa nafsu. Dengan bermalam di Mina, jamaah diajak untuk merenung, memperkuat spiritualitas, dan menguatkan niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik pasca haji.
Mina adalah lembah sempit yang disulap menjadi area tenda-tenda besar untuk menampung jutaan jemaah haji dari seluruh dunia. Meski suasananya padat dan kadang tidak nyaman, namun di situlah letak kebersamaan dan kesabaran diuji. Jemaah belajar untuk saling membantu, berbagi ruang, dan merasakan kebersamaan dalam ibadah.
Aktivitas ibadah haji yang terakhir adalah melontar jumrah merupakan simbol melepaskan diri dari segala sifat-sifat yang buruk, dan sebagai bentuk penolakan serta lambang permusuhan abadi dari segala godaan iblis dalam mengerjakan perintah dari Allah Swt. Sehingga filosofis ketika melempar jumrah adalah tahan banting dalam melawan godaan setan, apabila terbesit dalam benak manusia dalam menghalangi ibadah kepada Allah Swt dengan menahan dan melawannya. Yang mana hal tersebut juga merupakan pembuktian loyalitas seorang hamba kepada Allah Swt. Wallahu A’lam.
Semoga seluruh dhuyufurrahman jemaah haji di
momen musim haji 2025 M/1446 H yang sudah ataupun yang belum kembali ke tanah
airnya masing-masing bisa turut andil langsung dalam mengimplementasikan dan
mengaplikasikan makna haji di atas demi menjadi haji yang mabrur sekaligus
bagian dari umat muslim yang istiqamah, tangguh, dan berkontribusi positif bagi
peradaban dunia, Amin.
Oleh : H. Mohammad Zam
Zami ‘Urif, M.Ag.
Dewan Pengasuh
Pondok Pesantren Asshodiqiyah Semarang.