Proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak, Solusi atau Ancaman?

Bukan tanpa sebab, ternyata bambu-bambu ini merupakan bagian dari konstruksi proyek raksasa Tol Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Proyek strategis nasional ini bukan hanya membangun jalan tol sepanjang 26,95 kilometer, tetapi juga menjanjikan perlindungan dari banjir rob yang selama ini jadi momok masyarakat pesisir utara Jawa.
Namun pertanyaan besar pun muncul: Apakah tol tanggul laut ini benar-benar solusi, atau justru menciptakan persoalan baru?
Matras Bambu di Tengah Gelombang
Bambu-bambu yang terdampar itu merupakan bagian dari matras bambu, struktur dasar dari tol tanggul laut yang dibangun di atas perairan. Sekitar 6,2 km matras telah dipasang, namun sebagian terlepas dan terbawa arus hingga dua kilometer dari lokasi awal.
Seorang pekerja konstruksi menjelaskan bahwa cuaca ekstrem menjadi penyebab utama. “Angin kencang dan ombak tinggi sejak Desember membuat pekerjaan sulit. Kadang sampai libur karena kondisi sangat berbahaya,” katanya.
Dari kejauhan, terlihat excavator apung mencoba menarik kembali susunan bambu itu. Di dekatnya, pipa-pipa besi menyedot lumpur dari tambak warga yang kini tergenang laut, untuk menimbun matras bambu tersebut sebagai pondasi tanggul.
Proyek Bernilai Triliunan
Seksi 1 TTLSD menghubungkan Semarang dan Sayung, Demak, sepanjang 10,64 km. Sekitar 6,7 km di antaranya dibangun di atas laut. Tol ini diharapkan tidak hanya mengurangi kemacetan Pantura, tetapi juga menjadi tanggul permanen bagi rob dan abrasi.
Namun untuk itu, proyek ini butuh lahan luas sekitar 539,7 hektar dari 24 kelurahan di 8 kecamatan. Total biaya? Lebih dari Rp15 triliun.
Dirjen Bina Marga, Roy Rizali Anwar, menegaskan proyek ini telah melalui berbagai kajian teknis dan lingkungan. “Kami pastikan ini aman untuk beroperasi,” ujarnya.
Kekhawatiran Para Pakar
Tak semua pihak sependapat. Sindhung Wardhana, dari Ikatan Geografi Indonesia, justru mempertanyakan efektivitas tanggul laut ini. “Air asin itu tetap akan meresap ke tanah, meskipun pondasinya dari beton atau besi. Bangunan di laut jauh lebih cepat rusak,” jelasnya.
Penelitian Maleh Dadi Segoro juga menyebutkan bahwa penurunan muka tanah di Semarang mencapai 10 cm per tahun, dan kenaikan air laut akibat perubahan iklim bisa mencapai 15,5 cm pada 2030, bahkan 77,5 cm hingga 2110. Dengan kondisi ini, pembangunan tanggul harus terus-menerus ditinggikan.
Kolam Retensi: Menampung Air, Menunda Bencana?
Proyek TTLSD menutup lima sungai besar dan membangun dua kolam retensi besar untuk menampung air limpahan dari hulu. Kolam sistem Terboyo dirancang menampung hingga 11,25 juta m³ air, sementara sistem Sriwulan mampu menampung 1,32 juta m³.
Namun masih ada tiga sungai besar yang tetap terbuka, yaitu Banjir Kanal Timur (BKT), Sungai Babon, dan Sungai Sayung. Kajian Koalisi Pesisir Semarang-Demak menyebut, air rob tetap bisa masuk lewat tiga sungai ini dan membanjiri pemukiman serta jalur Pantura.
Ancaman Baru di Wilayah Timur
Selain kekhawatiran teknis, proyek TTLSD juga diprediksi mengubah arus laut. Syukron Salam, dosen Universitas Negeri Semarang, mengatakan perubahan ini akan memperparah abrasi di wilayah Demak, yang tidak terlindungi oleh tanggul.
“Reklamasi di Semarang saja menyebabkan abrasi parah di Demak. Ada wilayah yang mundur sampai 5 kilometer sejak 1990,” ungkapnya. Salah satu desa yang terdampak parah adalah Desa Bedono, yang kehilangan lebih dari 2.000 hektar daratan dalam dua dekade terakhir.
Solusi atau Bom Waktu?
TTLSD digadang-gadang menjadi penyelamat Semarang-Demak dari rob dan kemacetan. Namun fakta di lapangan menunjukkan banyak tantangan yang harus diwaspadai dari ketahanan struktur, efektivitas kolam retensi, sampai dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat pesisir.
Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis kajian ilmiah jangka panjang, proyek raksasa ini bisa jadi bukan penawar luka, tapi luka baru yang menganga di masa depan.
Pembangunan infrastruktur besar seperti TTLSD tentu perlu. Namun, dalam menghadapi alam yang terus berubah, pendekatan kita tak boleh hanya teknis dan ekonomis. Ia harus humanis, ekologis, dan visioner. Karena laut, tanah, dan gelombang… tak akan pernah tunduk pada beton semata.