Sendiko Dawuh: Bukan Feodalisme, Tapi Adab Spiritual untuk Pelajar
Mengapa Kepatuhan Santri kepada Kiai adalah Fondasi Ilmu, Bukan Keterbelakangan?
Di tengah arus modernisasi dan semangat kritis yang tinggi, seringkali muncul pertanyaan tentang tradisi kuno di lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yaitu pesantren. Salah satu tradisi yang paling khas adalah ungkapan “Sendiko Dawuh”— sebuah jawaban spontan santri terhadap perintah atau nasihat dari kiai.
Apa sebenarnya makna di balik frasa Jawa yang berarti “saya patuh terhadap perintah” ini? Dan benarkah, seperti tuduhan beberapa pihak, bahwa tradisi ini melanggengkan budaya feodal atau mematikan daya kritis santri?
Esai ini hadir untuk meluruskan pandangan tersebut, menegaskan bahwa “Sendiko Dawuh” adalah manifestasi adab spiritual dan kunci kemandirian sejati, bukan praktik feodalisme.
1. "Sendiko Dawuh": Simbol Adab yang Melampaui Kata
Di pesantren, kiai bukan hanya guru yang mentransfer ilmu di kelas, melainkan juga murabbi ruhani (pembimbing spiritual), orang tua, dan teladan moral. Perintah (dawuh) kiai diyakini membawa keberkahan karena mereka adalah waratsatul anbiya (pewaris para nabi).
Oleh karena itu, ketika seorang santri mengucapkan "Sendiko Dawuh":
Ia tidak hanya menyatakan ketaatan lahiriah, tetapi juga penerimaan batiniah (tawadhu’) terhadap arahan guru.
Ini adalah bentuk konkret dari adab dalam menuntut ilmu. Ulama sering berkata, adab lebih utama dari ilmu. Adab di sini berarti kesediaan menerima arahan dengan lapang dada, menanggalkan ego, dan keyakinan bahwa di balik perintah guru terdapat hikmah.
Bagi pelajar, konsep ini mengajarkan bahwa kerendahan hati dan penghormatan kepada guru adalah gerbang utama untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang tidak disertai adab hanya akan melahirkan kesombongan intelektual.
2. Ketaatan Matang: Antara Hormat dan Rasionalitas
Apakah "Sendiko Dawuh" berarti kepatuhan buta? Tentu tidak.
Ketaatan dalam tradisi pesantren didasarkan pada cinta, hormat, dan kesadaran spiritual, bukan rasa takut. Santri diajarkan untuk tetap berpikir jernih. Kepatuhan ini hanya berlaku selama dawuh kiai sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam.
Ini adalah bentuk ketaatan yang matang, yang tumbuh dari:
Kepercayaan pada keteladanan dan integritas guru.
Kesadaran bahwa arahan spiritual seringkali tidak bisa diukur dengan logika instan.
Justru dari sinilah lahir kemandirian sejati: kemampuan untuk mendahulukan nilai dan spiritualitas di atas keinginan ego pribadi.
3. Pesantren Bukan Lembaga Feodal, Tapi Madrasah Adab
Tuduhan bahwa pesantren melanggengkan feodalisme adalah pandangan yang dangkal dan keliru.
Feodalisme didasarkan pada hierarki kekuasaan, warisan, dan penindasan.
Pesantren didasarkan pada ikatan ilmu dan spiritualitas.
Santri mencium tangan kiai atau melakukan khidmah (pelayanan) seperti membersihkan pondok, adalah wujud ta’dhim (penghormatan) dan tawadhu’ (kerendahan hati).
Kiai memimpin dengan keteladanan dan keikhlasan, bukan otoritas paksaan. Hubungan yang terjalin adalah hubungan spiritual dan keilmuan, bukan relasi kekuasaan layaknya "tuan dan abdi."
Nilai-nilai ini justru melatih santri untuk:
Membebaskan diri dari hawa nafsu dan kesombongan intelektual.
Menciptakan disiplin dan etos kerja yang tinggi.
Intinya: Pesantren mengajarkan bahwa kepemimpinan dan pengaruh lahir dari keteladanan dan keikhlasan, bukan dari harta atau jabatan turun-temurun. Inilah pelajaran antikorupsi dan anti-kesewenang-wenangan yang mendalam bagi generasi pelajar.
Warisan Luhur yang Relevan untuk Pelajar Masa Kini
Di zaman di mana penghormatan terhadap guru mulai luntur dan setiap orang merasa berhak membantah otoritas, tradisi "Sendiko Dawuh" perlu dimaknai ulang.
Ia adalah warisan luhur yang mengajarkan pelajar:
Bukan sekadar patuh, tetapi percaya bahwa adab adalah fondasi ilmu yang berkah.
Bukan tunduk pada feodalisme, tetapi menguatkan karakter untuk merendahkan ego demi hikmah.
Bukan mematikan kritis, tetapi membingkai kritik dengan adab dan tanggung jawab.
Pesantren adalah taman ilmu dan adab, tempat di mana santri dibebaskan dari kebodohan, ego, dan kehidupan tanpa makna. Tradisi "Sendiko Dawuh" adalah kunci untuk membuka pintu keberkahan ilmu tersebut.
Ditulis oleh: A’isy Hanif Firdaus, S.Ag. (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim Semarang)
