Catatan Hardiknas 2025: Cermin Retak Pendidikan Kita

JENDELA PELAJAR - Setiap 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Spanduk ucapan tersebar, upacara digelar, pidato dibacakan. Tapi, pernahkah kita benar-benar merenung: bagaimana sebenarnya wajah pendidikan kita hari ini?
Pendidikan seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan yang cerah, menciptakan generasi cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Di tengah gemuruh kemajuan teknologi global, kita masih terjebak dalam persoalan lama: rendahnya kemampuan dasar membaca dan berhitung, ketimpangan akses, dan sistem yang belum berpihak pada anak-anak di pinggiran.
Laporan PISA 2022 yang dirilis OECD seolah memberikan harapan: peringkat Indonesia naik. Tapi jika dilihat lebih dalam, nilainya justru menurun. Skor literasi membaca hanya 359, matematika 366, dan sains 383, semuanya jauh di bawah rata-rata negara maju. Ini bukan prestasi, ini alarm keras bahwa sistem pendidikan kita stagnan.
Kita naik peringkat bukan karena menjadi lebih baik, tapi karena negara lain justru menurun. Seperti siswa yang naik ranking karena teman-temannya turun nilai, bukan karena dia belajar lebih giat.
Rata-rata lama sekolah kita hanya 9,22 tahun. Itu artinya, banyak anak Indonesia berhenti sekolah di jenjang SMP. Di satu sisi, anak-anak kota besar sudah belajar coding dan robotik. Di sisi lain, anak-anak di Papua Pegunungan masih berjalan berkilo-kilometer hanya untuk menemukan ruang kelas sederhana.
Kesenjangan ini nyata, bukan hanya antara kota dan desa, tapi juga antara si kaya dan si miskin, antara yang punya koneksi internet stabil dan yang tidak punya listrik sama sekali. Di negeri ini, nasib anak-anak lebih sering ditentukan oleh tempat lahir daripada oleh semangat belajar mereka.
Tahun ini, anggaran pendidikan kita mencapai lebih dari Rp660 triliun, 20 persen dari APBN. Tapi pertanyaan besarnya: mengapa kualitas pendidikan belum juga membaik?
Banyak anggaran terserap untuk gaji dan urusan birokrasi. Sekolah-sekolah unggulan di kota besar bisa membeli laptop dan proyektor. Tapi di desa-desa, sekolah masih berlantaikan tanah dan atapnya bocor. Guru-guru honorer dibayar minim, tanpa jaminan masa depan.
Kurikulum Merdeka hadir dengan semangat membebaskan. Tapi di lapangan, implementasinya belum maksimal. Banyak guru belum paham, buku belum merata, pelatihan masih minim. Akhirnya, alih-alih merdeka, banyak sekolah justru bingung.
Sistem pendidikan kita masih berorientasi pada nilai angka, ranking, dan hafalan. Padahal dunia kerja kini butuh pemikir kritis, kreatif, dan mampu berkolaborasi. Apa yang diajarkan seringkali tidak nyambung dengan kenyataan hidup.
Guru adalah kunci utama pendidikan. Tapi banyak dari mereka masih diperlakukan seperti pengisi absen dan pengikut webinar formalitas. Program rekrutmen PPPK pun tidak selalu adil, banyak guru senior tersingkir karena tak lulus tes komputer.
Jika guru terus dibebani administrasi tanpa pelatihan bermakna dan penghargaan yang layak, bagaimana mereka bisa menjadi inspirasi bagi murid-muridnya?
Pandemi membuka mata kita tentang pentingnya teknologi dalam pendidikan. Tapi setelah krisis berlalu, semangat digitalisasi ikut surut. Program seperti “Rumah Belajar” dan “Merdeka Belajar” masih belum menyentuh mayoritas sekolah. Internet masih jadi barang mewah di banyak daerah.
Padahal, anak-anak hari ini hidup di dunia digital. Jika sekolah tidak relevan dengan kenyataan mereka, mereka akan memilih belajar dari YouTube, TikTok, atau game, bukan dari guru.
Anak-anak disabilitas masih banyak yang tersingkir dari sistem. Sekolah inklusi masih langka, guru belum siap, fasilitas belum memadai. Anak-anak dari keluarga miskin juga menghadapi “biaya tersembunyi” sekolah: seragam, transportasi, dan iuran.
Pendidikan seharusnya menjadi hak semua anak, bukan hanya milik mereka yang mampu. Tapi kenyataannya, sistem pendidikan kita justru memperkuat ketimpangan sosial.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya jadi momentum refleksi, bukan sekadar seremoni. Kita perlu mengubah pendekatan pendidikan dari yang birokratis menjadi humanistik, dari proyek fisik menjadi investasi kualitas manusia.
Pemerintah pusat harus menjadi penggerak perubahan. Pemerintah daerah harus jadi penjaga mutu. Dan masyarakat, termasuk orang tua, media, dan komunitas, harus turut serta mengawal jalannya pendidikan.
Rapor merah pendidikan bukan milik siswa. Ia adalah cerminan dari kita semua: guru, orang tua, pejabat, dan pembuat kebijakan. Kita tak boleh lagi mencari siapa yang salah. Yang kita butuhkan adalah siapa yang mau bergerak lebih dulu.
Karena jika kita terus membiarkan sistem ini timpang, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang suram, bukan karena takdir, tapi karena kita sendiri yang memilih diam.
Sudah waktunya pendidikan Indonesia bangkit, bukan hanya untuk mencetak nilai tinggi, tapi untuk menciptakan manusia utuh, cerdas, berkarakter, dan merdeka.